4.30.2010

Mereka Memilih Belanda

Saya sedang termenung saat tiba-tiba saya teringat tentang kikkerland. Saya tersenyum saat kata itu yang dalam bahasa Indonesia berarti negeri kodok terlintas dalam benak. Air yang melimpah di negeri Belanda menyebabkan julukan itu tercipta. Yang terbayang dalam benak saya ribuan istana kodok yang tumbuh subur di negeri tersebut. Saya pun bergidik.
Segera saya hilangkan bayangan istana kodok, itu hanya julukan lia, batin saya. Saya pun mengangguk-angguk. Lebih untuk menyakinkan diri saya. Karena setelahnya di pikiran saya muncul slide show pose kodok dalam berbagai variasi; lengkap dengan penampakan lendirnya yang untungnya samar. Sampai-sampai katak yang besar, berwarna coklat, dan berkulit kasar dengan permukaan timbul di badannya; biasa kita kenal dengan bakong turut 'nampang' dalam slide show tersebut. Saya tidak ingin itu berlarut. Saya terlalu phobia  dengan hewan satu ini. Saya pun kembali memikirkan kata kikkerland. Dengan membuang jauh-jauh arti kata itu. Walaupun sangat sulit tapi saya berhasil meredam munculnya slide show dalam pikiran saya. Kikkerland. Sebuah julukan. Menggambarkan makna tersirat mengenai keadaan daerah tersebut. Hanya dengan satu kata. Ya walaupun saat pertama kali mendengar kata itu; dan setelahnya kita mengerutkan dahi, kemudian kita baru mengetahui artinya, bermacam-macam tafsiran terbentuk dengan sendirinya. Tapi jangan berlebihan seperti saya tadi. Betapa kuat kekuatan kata-kata. Dan selanjutnya saya terkukung untuk mengetahui jurnalisme.

Surat-kabar menjadi kata pertama yang rasanya ingin saya ketahui.
Antara lupa-lupa ingat, dalam pelajaran sejarah di bangku sekolah dasar disebutkan bahwa surat kabar Medan Priyayi menjadi surat kabar pertama yang terbit dalam bahasa Indonesia. Mendadak terkena sindrom takut salah, saya pun segera mengeceknya dalam wikipedia. Saya bersyukur terkena sindrom tersebut. Secara tak sengaja saya menemukan tulisan dalam sebuah blog pribadi disebutkan bahwa surat kabar yang pertama kali terbit di Indonesia adalah Batavia Nouvelles, terbit tahun 1744; beratus-ratus tahun setelahnya yakni tahun 1907 kemudian baru terbitlah surat kabar milik R.M. Tirtohadisoerjo, Medan Priyayi. Batavia Nouvelles terbit dalam bahasa Belanda. Ini berarti, perkembangan jurnalisme di Indonesia tak luput dari peran Belanda yang mengenalkannya.
                                                                         Batavia Nouvelles

Jauh sebelum mengenalkan surat kabar di Indonesia, di Belanda telah lebih dulu diperkenalkan inovasi dalam hal tampilan, seperti bentuk yang kita kenal pada masa ini. Surat Kabar The Dutch Courante uyt Italien, Duytslandt, & c. menjadi motivator mode koran hingga menjadi kiblat surat kabar lainnya. Yang bisa kita nikmati bentuknya sampai saat ini. Coba bayangkan bila surat kabar masih 'dicetak' dalam bentuk bongkahan batu atau lembaran logam seperti pada masa Julius Caesar. Mungkin saya tidak akan melihat tukang koran yang mengayuh sepedanya tanpa beban. Atau justru menemukan kerumunan masa yang berjejal ingin mengetahui berita yang tertera dalam bongkahan batu tersebut. Saya pastikan tidak termasuk satu diantara mereka.

Hal lainnya yang begitu menggelitik di pikiran saya adalah The Writers; para penulis.
                                                                          Marion Bloem
Saya membuka halaman site dengan judul 'Tokoh Belanda' dan mata saya tertuju pada satu tulisan, Marion Bloem ; saat itu terbaca oleh saya Mariam; bukan Marion. Kayaknya keturunan Indonesia. Saya membatin. Tanpa bergulat terlalu jauh dalam pikiran, saya pun langsung meng-klik kata tersebut. Pertama halaman link tersebut terbuka, saya memperhatikan fotonya. Yang bagi saya lebih mirip dengan orang latin dibanding dengan orang Asia. Saya pun kecewa. Beberapa detik kemudian, saya dibuat terkejut dengan tulisan

'Kedua orang tuanya berasal dari Indonesia dan mereka adalah orang Indo yang berhijrah ke Belanda pada tahun 1950.'

Saya menghembuskan nafas lega. Tanpa alasan yang berarti sedikitpun. Mungkin, saya hanya merasa senang dengan tebakkan saya yang ternyata cukup jitu.

Saya beralih untuk melihat situs pribadinya. Situs berbahasa Belanda tersebut; bisa kalian tebak bahwa saya sama sekali tak mengerti maksudnya, menampilkan bukunya yang berjudul 'Ver van Familie' yang berarti Jauh dari Keluarga dan telah difilmkan. Satu hal yang membuat saya tersenyum sambil mengangguk-angguk adalah sebuah photo seorang wanita, saya taksir sedang menari tarian Indonesia, dengan wajah khas Asia dan bawahan yang sepertinya bercorak kain batik.
                                                                          Wietske Loebis

Berikutnya saya menulis kata, 'Penulis Belanda Keturunan Indonesia'; Hey! itu kalimat bukan kata, dalam search engine. Muncullah rentetan artikel. Saya pun membuka situs Radio Nederland Wereldomroep. Kali ini penulis itu bernama Wietske Loebis.Tebaklah bahwa dia keturunan Indonesia. Maka kamu dapat tersenyum penuh kemenangan. Ayahnya merupakan orang Indonesia yang telah berhijrah ke Belanda sejak zaman Perang Dunia Kedua. Dan ibunya asli orang Belanda. Dia pun kerap mengunjungi 'kampung halaman' ayahnya tersebut. Meski begitu; seperti dilansir dalam situs RNW karyanya sama sekali tak berbau Indonesia dan diapun tidak memahami bahasa Indonesia. Dia hanya akrab pada satu hal, bahwa ayahnya sangat menyukai suasana tropis dengan memasang pemanas ruang yang dinaikkan sekitar 23 derajat celsius; rata-rata rumah orang Belanda temperatur ruang diatur ke 20 derajat dan sesekali menyantap masakan Indonesia.

Penulis berikutnya adalah Anne Frank.
                                                                             Anne Frank
Tentu kalian akrab dengan nama tersebut. Seorang gadis kecil; yang berasal dari Jerman lalu memutuskan untuk berhijrah ke Belanda, yang mempunyai ambisi untuk menjadi seorang penulis. Buku diarinya kelak akan menjadi buku pertamanya yang diberi judul 'The Secret Annex'. Namun, sebelum melihat buku itu terbit dia telah berpulang. Meski begitu bukunya pun tetap terbit. Ada satu quote-nya yang saya suka:

"The nicest part is being able to write down all my thoughts and feelings; otherwise I'd absolutely suffocate."

Itu membuat saya ingin menyicipi liar imajinasinya saat menulis di atas meja dalam kamarnya dan melihat diari 'ajaib' itu dari dekat.

Tidakkah kalian menemukan persamaan dari ketiga penulis di atas ?

Mereka adalah wanita. Iya, saya pun tahu.
Mereka adalah seorang penulis. Iya itu pasti.
Mereka berbeda jalan nasibnya; Marion Bloem yang begitu terinspirasi dengan Indonesia; Wietske Loebis yang tak begitu memahami tanah kelahiran ayahnya; Anne Frank dengan buku diarinya, apa yang sama ?

Mereka memilih Belanda untuk mewujudkan mimpi mereka menjadi penulis hebat.
Dan itu yang begitu memicu rasa penasaran saya. Mengapa harus Belanda ?

Kembali saya menenggelamkan diri dalam dunia maya. Dan kembali tersasar dalam sebuah situs. Antara News. 'Delapan Belas Wartawan Dalami Independensi Media di Belanda'. Mungkinkah ini jawabannya ? Judul itu menyiratkan bahwa Belanda merupakan salah satu negara yang sangat menghargai kreatifitas rakyatnya. Seseorang tak akan peduli bagaimana asal-usul penulis, berapa umurnya, dari golongan apa, begitu ia membaca buku karya sang penulis. Belum lagi kepedulian pemerintahan Belanda dengan mendirikan organisasi terkait salah satunya, Radio Netherland Training Center, yang juga menyelenggarakan pelatihan di bidang media bagi negara berkembang. Ya, sepertinya bidang jurnalisme menjadi salah satu bidang yang akan terus ditekuni pemerintahan Belanda.

Hmmmm, bagaimana ?

Justru saya merasakan rasa penasaran itu semakin hebat menggelitik di setiap sudut kepala. Sepertinya tak cukup bila hanya memahami sekedar dari wacana. Mungkin hanya satu jawabannya,
Pergilah ke Belanda.

0cuap-cuap:

Tulis Pendapatmu di sini, Kawan!