4.14.2010

Kali ini Tentang Klompen





Kebiasaanku adalah selalu mencari persamaan dari setiap barang. Berlagak menjadi seorang sejarawan; dengan menggunakan insting khayal. Berharap menemukan 'cabang' kekeluargaan dari suatu silsilah. Hanya bedanya ini lebih sederhana, sebuah benda. Salah satu korbannya adalah Klompen.

Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, aku begitu tergila-gilanya dengan clogs (sebutan klompen yang akrab di telinga orang Inggris). Sepatu dari kayu popper yang menjadi ikon khas negeri Belanda. Bukan kenapa-kenapa, aku membayangkan sepatu kayu itu bisa menjadi alternatif alas kaki saat banjir. Jadi aku tidak harus bersusah-susah melapisi sepatu sekolah dengan plastik kresek sewaktu banjir melanda daerah perumahanku. Atau aku tidak perlu was-was digigit serangga, lintah atau semacamnya saat berjalan di genangan air.

Bukan itu saja (berlagak seperti ilmuwan), aku membayangkan kehangatan yang diberikan klompen saat musim hujan dan kesejukkan di musim panas. Klompen juga menyelamatkanku saat menjawab soal pengetahuan alam, saat tingkat dasar pelajaran ini menjadi momok bagiku, mengenai suhu! 
Itulah mengapa aku begitu terpesona dengan klompen.
Awal mula perkenalanku dengan klompen terbilang sederhana, melalui ensiklopedi. Bukan melalui pertemuan seperti lazimnya sebuah perkenalan. Aku mendapat tugas saat itu untuk mencari tahu tentang negeri Belanda. Dari sekian banyak kata yang tersusun membentuk kalimat, klompen-lah yang langsung tercatat di memoriku. Begitu menggelitik rasa penasaranku. Membuatku bersuka rela menjadi bahan percobaan pintu ke mana saja milik doraemon kalaupun benar-benar ada. Ditambah lagi terpampang sebuah photo di halaman tersebut. Seorang wanita dengan baju panjang seperti dress, dengan sepatu kayu sebagai alasnya. Wwwaah, baju adat orang Belanda! Pekikku saat itu.

Klompen pun menjadi most wanted saat aku menyambangi toko sepatu. Walaupun sampai kapanpun aku tidak akan menemukannya di toko sepatu yang bertuliskan sport.
Sampai aku berpikiran untuk menjadikan pohon-pohon yang tertanam di depan gedung sekolahku menjadi material untuk membuat klompen. Aku tidak tahu itu kayu popper atau bukan terlebih aku belum pernah melihat bentuk asli kayu popper bagaimana. Kenyataannya pohon-pohon di depan sekolahku beberapa berbuah bulat-bulat kecil berwarna merah dengan bulu-bulu halus di seluruh badannya (baca:rambutan).

Jadilah klompen menjadi topik pembicaraan dengan teman-temanku. Namun, aku mengganti istilah klompen dengan sepatu kayu. Lebih mengindonesia. Selain itu aku tidak ingin terlihat sok pintar di depan teman-teman, yang perkataannya lebih masuk akal untuk anak-anak seusiaku saat itu.
Aku pun asik menyebut frase 'sepatu kayu' secara berulang-ulang. Dan teman-temanku hanya mengerutkan kening.
"Maksudnya, bakiak ?" Seorang teman memotong keasikkanku berkelakar tentang sepatu kayu.
Aku menggeleng.
"Ooooh, terompah. Iya, pasti terompah yang suka dipakai sama tarzan kan." Ucap salah seorang temanku yang lain secara sumringah.
Aku pun terbengong. Membayangkan Tarzan dengan baju kebangsaanya; tahu kan? yang cuma menutupi bagian tertentu dari tubuhnya dipadu dengan klompen atau terompah versi temanku. Aku pun tak berani menggeleng.

Alhasil, begitu sampai di rumah aku langsung menunggu-nunggu sinetron tarzan. Aku ingin melihat tarzan yang diperankan oleh Mandra, dengan sepatu klompen. Aku tidak bisa membayangkan kerepotan Tarzan saat harus bergelantungan di pohon dengan sepatu kayu yang terlihat berat. Belakangan aku baru tahu bahwa klompen sama sekali tidak berat! (aku membaca di artikel sebuah majalah). Begitu sinetron tarzan dimulai, aku sama sekali tidak fokus dengan jalan ceritanya. Aku hanya terus memperhatikan alas kaki Tarzan yang memang tak begitu tersorot kamera; yah, aku menyadari sinetron itu bukan berjudul 'Terompah Tarzan'.
Begitu terompah tersorot kamera dengan jelas, akupun kecewa. Kok, klompen Tarzan cuma dililit tali. Batinku saat itu.

Satu hal yang kusuka dari klompen atau sepatu kayu, tidak menyebabkan limbah.
Aku terinspirasi saat melihat mbahku; sebutan nenek yang biasa digunakan oleh orang Jawa, memasak menggunakan tungku (perapian) dan mbahku menggunakan teklek;alas kaki berbentuk sandal yang terbuat dari kayu, aku menyebutnya klompen jawa. Aku membayangkan suatu saat teklek yang digunakan mbahku tersebut akan menggantikan kayu-kayu yang terbakar di tungku. Sedikit sadis memang tapi bermanfaat. Walaupun sebenarnya aku sendiripun tak pernah mencobanya, apakah mampu teklek berubah fungsi menjadi 'kayu bakar'. Yah, (lagi-lagi) hanya membayangkan.




Saat pertama kali melihat teklek, aku sangat girang sekali. Ternyata 'klompen' yang selama ini hanya aku bayangkan dan berada nun jauh di negeri Belanda, ada di depan mataku. Berseliweran sebagai alas kaki di sebuah rumah di desa Sukorame, Magelang, Jawa Tengah. Di rumah mbahku! Aku pun bersyukur bisa menemukan versi sandalnya.

Meski bentuknya memang sedikit beda; setelah kutelaah lebih jauh, sepuluh tahun setelahnya, ternyata bukan sedikit beda tapi sedikit persamaan, karena 'komplen jawa' ini tidak tertutup rapat alias bermodel sandal. Namun (sepertinya) mempunyai manfaat yang sama.
Mbahku menggunakan teklek untuk mengusir ayam-ayam yang nakal mematuki makanan yang sedang dijemur. Kayaknya, klompenpun bisa digunakan untuk sedikit memberi pelajaran kepada hewan ternak yang nakal, seperti ayam-ayamnya mbah tadi. Klompen kan juga digunakan para petani atau pemerah susu di Belanda. Begitu yang kubaca di ensiklopedi.

Dan yang lebih penting, klompen membuatku tersadar untuk tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan, yang berarti menghargai hidup. Klompen memang sebuah sepatu kayu tapi klompen memfungsikan dirinya begitu banyak; dari mulai melindungi kaki saat bekerja sampai semua hal yang telah aku bayangkan di atas bahkan saat sudah tidak bergunapun klompen bisa menjadi bahan bakar perapian. Klompen memang sepatu kayu tapi 'filosofi' hidupnya lebih dalam dari yang hanya melihatnya sebagai sepatu kayu biasa. Klompen hanya sepatu kayu tapi; tiba-tiba aku memikirkan klompen yang bermetamorfosis menjadi manusia, sebaliknya, manusia menjadi alas kakinya. Oh, itu tak akan pernah terjadi. Terlalu banyak membayangkan membuatku memafhumkan dunia khayalku. Ya, dan sepertinya klompen baru menyadarkanku bahwa hidup bukanlah sekedar bermimpi.

17cuap-cuap:

Tulis Pendapatmu di sini, Kawan!