4.26.2010

Antara Idaman dan Keinginan

Berbicara mengenai ‘keinginan’ rasanya tidak akan pernah habis mengalir dari pikiran kita. Sama seperti saat kita membicarakan keburukan mengenai suatu hal yang walaupun telah habis ‘dikupas’ namun tetap saja dicari-cari. Dua hal yang memang complicated. Kita berbicara tentang keburukan suatu hal, pasti selalu diikuti dengan harapan (atau mungkin pemaksaan) sesuatu itu menghilangkan keburukannya atau dengan kata lain menjadi kebaikan. Tak berbeda jauh, saat kita membicarakan tentang keinginan, mau tidak mau, suka tidak suka; dan memang dinikmati, selalu diikuti ‘pemaksaan’ agar segera direalisasikan. Diwujudkan agar dapat segera mencicipinya.

Diumpamakan seperti  seorang koki mendapat pesanan untuk membuat kue dengan tambahan daftar list keinginan kue itu berasa seperti apa dan bentuknya kayak gimana. Selalu saja ada complaint yang tidak klop begitu kue itu jadi; entah itu rasanya yang kurang manis, gurih atau bahannya yang kurang lembut (saya jadi teringat film ‘Saus Kacang’ ; BCL berperan jadi koki dan dipusingkan dengan ulah seorang turis asing karena masalah rasa makanan yang gak pas. Well, cukup. That’snt what I’m trying to say). Daftar list itu baru dari satu orang saja. Bagaimana bila mendapat ribuan daftar list yang harus dipadukan dalam satu kue.
I can’t imagine that.
Lalu, apa hubungannya dengan ‘Perguruan Tinggi Idaman’?


Pertanyaan yang saya tunggu-tunggu. 
Fokus saya pada kata idaman. Idaman pada kalimat itu dapat berarti sesuatu yang menjadi keinginan kita dengan objeknya perguruan tinggi tersebut. Idaman berarti keinginan. Bila saya membicarakan tentang bagaimana perguruan tinggi idaman saya, mungkin tidak akan berhenti saya menulis ( Lebay sekali). Hal yang lumrah karena posisi saya sebagai ‘konsumen’. Jadi untuk menghindari ke-lebayan saya tersebut. Saya lebih senang menulis tentang apa yang seharusnya dilakukan. Kok, seperti memaksa ?! Tidak bermaksud seperti itu, alangkah lebih baiknya bila kita membicarakan apa yang seharusnya kita lakukan berdasarkan posisi kita masing-masing. Jadi tidak akan ada tuh perasaan kecewa yang buntut-buntutnya anarkis (naudzubillah). Atau perasaan kecewa yang berbuntut pengkhianatan; contoh: menjelek-jelekkan almameter sendiri. Insya Allah, tidak ada. Mudah-mudahan.

Kalau diumpamakan makhluk hidup, perguruan tinggi itu jadi guru dan kita ; yang memang makhluk hidup, originally, sebagai murid. Guru memiliki peran penting dalam membimbing sebuah proses yang dilakukan muridnya. Dan murid berkewajiban untuk melaksanakan proses tersebut. Dewasa ini, semua itu seakan tidak berlaku lagi. Cara instant dianggap sebagai sebuah hal yang brilliant . Se-instant mie (Pantas produk mie begitu menjamur. Sepertinya, sejalan dengan ke-instanan cara berpikir kita ). Sehingga proses yang terjadi kurang dihargai dan proses yang bertahap tersebut kurang diminati. Hal-hal yang berbau plagiat sepertinyapun terdengar  lebih akrab. Dan instant = kualitas.
Tahu kan ? mie mengandung bahan pengawet yang memang tidak baik bagi tubuh kita. Bisa menyebabkan penyakit dalam tubuh. Dengan kata lain kualitas kesehatannya pun perlu dipertanyakan. Mungkin, kita bisa menyangkal untuk tidak memakannya terlalu sering sehingga dapat dicegah. Tapi, siapa yang tahu bila nanti akhirnya kita terkukung candu. Begitu pula dengan cara instant dalam suatu proses. Cara instant itu menyebabkan hilangnya hal-hal yang justru akan membentuk kita menjadi pribadi yang cerdas. Menyebabkan kita terlena dalam zona nyaman dan berpikir bahwa hidup semudah membalikkan telapak tangan. Sungguh pembodohan bangsa. Dan jangan salahkan bila banyak Perguruan Tinggi Terbaik justru malah mencetak lulusan yang sebaliknya.

Mungkin kita perlu memahami makna dari sebuah proses (kok, saya berbicara seolah-olah saya seorang doktoral yang memimpin sebuah perguruan tinggi terbaik sih. Tapi ucapan kan sebuah doa kawan! Jadi, amiin ). Proses adalah.....
Apa ya ?
Semua orang pasti tahu maksud kata proses itu. Bahasa saya sih, proses itu jalan menuju suatu tujuan. Jalan itu kan berlika-liku. Kadang-kadang aspalnya mulus. Kadang juga banyak tambalan batunya. Kadang-kadang lalu-lintas lancar. Tapi lebih sering macet. Dan itu justru yang membuat kita menjadi cerdas. Saat kita melewati jalan yang berbatu-batu, banyak polisi tidur gak beraturan, setiap satu meter ada Mr. Gopek (lho? Sepanjang jalan dong) itu membuat kita untuk mencari alternatif jalan lain. Tanpa kita ketahui apa hasil akhirnya. Apakah sampai di tempat tujuan atau malah nyasar. Terlepas dari itu semua, jalan ;yang berarti sebuah proses, membuat kita belajar bagaimana caranya untuk mencapai suatu tujuan.

Saya ingin sedikit menyimpang dari topik yang sedang saya bahas (boleh kan? ). 
Kamu ikut lomba blog UII ya? (gubrak!! Ini sih benar-benar melenceng).
Mengapa sih, kok gak bicarain tentang fasilitas? Fasilitas kan termasuk important things dalam proses pembelajaran.
Iya sih, emang itu bener banget. Tapi, menurut saya setiap perguruan tinggi terbaik pastilah menyelaraskan dengan fasilitas yang menunjang pembelajaran. Apalagi ingin memposisikan sebagai perguruan tinggi idaman. Terlebih menjadi perguruan tinggi favorit Indonesia. In short, saya gak perlu berkoar-koar meminta fasilas ini-itu untuk menunjang pembelajaran. Karena tanpa diminta mereka pasti telah ‘berkaca’ untuk memperbagus fasilitas. Suatu hal yang umum.

Jadilah saya memilih untuk membahas sebagian hal luput dalam pembelajaran.

Hal penting lainnya yang menurut saya lebih penting malah adalah pendidikan agama.
Ada yang berpendapat bahwa jangan mencampur adukkan antara agama dan kehidupan. Atau agama dengan pembelajaran. I don’t. Saya ambil contoh para koruptor. Saya yakin para koruptor tersebut termasuk orang ‘berpendidikan’. Dengan ‘embel-embel’(baca: gelar) di depan maupun di belakang namanya pasti ada. Tapi mengapa mereka tidak malu untuk mengambil uang yang bukan haknya? Sama seperti pencopet, kan? Padahal mereka orang yang berpendidikan?
Ini membuktikan bahwa mereka tidak takut dengan Tuhan. Mereka melupakan bahwa ada kehidupan yang sebenarnya setelah kehidupan yang fana ini. Mereka hanya terkukung dalam sindrom ‘takut miskin’. Alpa bahwa Tuhan-lah yang memberikan rezeki kepada mereka.

Keselarasan antara pengetahuan dan agama menjadi salah satu kunci untuk menciptakan pionir-pionir yang bukan hanya cerdas namun juga jujur dan sadar bahwa dia hanya manusia biasa sehingga kesadaran untuk mengamalkan ilmunya untuk sesama akan tumbuh. Jauh dari agama = jauh dari Tuhan (naudzubillah).
Perguruan Tinggi Islam hendaknya menjadi pencetus untuk membentuk iklim yang selaras antara agama dan pengetahuan. Dan Universitas Islam Indonesia harus menjadi salah satunya (lho kok maksa ).Pembentukan moral yang selama ini menjadi kendala dan pertanyaan masyarakat umum semoga akan segera terjawab dengan terciptanya iklim ini di setiap lembaga pendidikan. Untuk Indonesia yang lebih baik.


0cuap-cuap:

Tulis Pendapatmu di sini, Kawan!