7.19.2010

Bank Syariah Menjemput Para Tunas Bangsa

Seorang remaja putri;saya taksir ia baru lulus SMA, duduk di tepi bangku angkutan kota-angkot- saat saya masuk ke dalamnya. Tidak banyak penumpang pada sore itu, hanya empat orang, termasuk supir angkot dan seorang bayi yang digendong remaja putri tersebut. Saya menerka bahwa itu adiknya. Suasana angkotpun sepi. Tak ada alunan musik maupun bisik-bisik obrolan. Kalaupun ada, hanya suara bising knalpot kendaraan yang lalu lalang menyalip angkot yang saya tumpangi. Tiba-tiba suara panggilan sang remaja putri memecah keheningan dalam angkot. Sebutan abang ia suarakan untuk memanggil sang sopir dan selanjutnya ia mewanti-wanti abang-nya;tanpa memikirkan kehadiran saya yang turut menjadi penumpang dalam angkot tersebut, untuk segera membayar cicilan hutang mereka kepada rentenir yang kerap mendatangi kediaman mereka. Ia juga mengeluhkan usaha warungnya yang mulai surut. Ia sempat tersenyum kepada saya. Saya pun hanya mengangguk dan mulut saya ragu-ragu menyunggingkan senyum balasan. Antara bingung dan kaget, saya terjebak dalam ‘pertemuan’ sebuah keluarga muda di dalam angkutan umum.

Kejadian sore itu cukup menyita pikiran saya. Saya amat yakin bahwa pasangan yang saya temui diangkot sore itu-remaja putri dan sopir angkot- sebaya dengan saya atau mungkin lebih muda. Entahlah, hanya saja bukan itu yang begitu menyita pikiran saya tapi curcol-curhat colongan- mereka mengenai keadaan yang sedang dililit hutang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa rentenir begitu kejamnya menerapkan bunga kepada para ‘klien’-nya. Hutang yang mungkin hanya berjumlah dua ratus ribu bisa melambung menjadi satu juta malahan mungkin lebih. Sungguh miris, bila kita harus membayar sesuatu yang sama sekali tidak kita pahami asal dan akan kemana dana tersebut digunakan.

Harapan Saya Untuk Perkembangan Perbankan Syariah

Saya jadi teringat pelajaran muamalah yang saya terima saat saya masih berstatus sebagai pelajar madrasah aliyah. Bahwa riba adalah haram hukumnya. Jujur saat itu saya menelan teori itu mentah-mentah tanpa saya berpikir, mengapa diharamkan ? Terlebih dari mulai duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah dikenalkan dengan ‘sosok’ bank yang menerapkan bunga; saat itu saya tak peduli dengan tulisan bunga yang biasanya diikuti dengan deretan angka, tapi lebih tertarik dengan hadiah yang berupa boneka yang diberikan oleh bank tersebut, dan lebih dikenal dengan istilah bank konvensional.

Cara itu cukup efektif, maksud saya, mengenalkan dunia menabung di bank sejak dini. Saya cukup terasuki dengan cara tersebut. Selain saya memahami bahwa menabung itu suatu perencanaan hidup yang baik, saya pun cukup terasuki bahwa bunga bukan suatu hal yang ‘aneh’. Hingga akhirnya saya duduk di bangku aliyah dan mulai mempelajari fikih, yang salah satu bahasannya mengangkat tema perbankan.

Pada suatu kesempatan, saya bersama teman-teman saya, tentunya didampingi oleh seorang guru, membahas tentang ‘Bank Syariah vs Bank Konvensional’. Kami diwajibkan menganalisis baik-buruknya kedua jenis bank tersebut. Dan saat inilah saya memahami mengapa riba haram hukumnya dan mengapa perbankan syariah begitu dibutuhkan. Salah satu point kami membahas mengenai masalah kemitraan atau hubungan. Pada bank konvensional, bank menjadi debitor sedangkan penabung sebagai kreditor. Dengan dasar simpan-pinjam bank membayar bunga kepada penabung dengan tingkat bunga; yang tentunya telah ditetapkan oleh bank, tak peduli berapa keuntungan maupun kerugian yang diterima bank tersebut.
Di sisi lain, di bank syariah, si penabung merupakan mitra sekaligus investor. Ia berhak menerima hasil investasinya yang mengikuti perolehan banknya. Sehingga konsep hubungan kemitraan seperti ini cenderung lebih adil dan transparan. Karena kedua belah pihak, baik penabung maupun bank itu sendiri sama-sama mengetahui perihal dana tersebut. Juga keduanya telah sama-sama ikhlas.

Kembali ke topik, sebenarnya saya tak patut mencampuri urusan mereka; keluarga muda yang telah saya ceritakan di atas, terlebih saya tak mengenal mereka. Tetapi, itulah potret korban ketidakadilan sistem. Dalam hal ini bunga yang diterapkan. Berapa banyakkah orang-orang yang bernasib seperti mereka ? Andaikan mereka menggunakan jasa keuangan syariah, mungkin tak akan seperti ini. Andaikan mereka memahami bahwa berhutang dengan bunga tidaklah menguntungkan mereka, mungkin mereka tak akan melanjutkan hidup hanya untuk menutupi hutang-hutang yang semakin membengkak. Mereka masih muda ! Seharusnya mereka dapat membangun ‘istana’ mereka dan bukan terkukung dalam lilitan hutang. Cukuplah berandai-andai. Toh, kenyataannya merekapun hanya ingin bertahan hidup.

Namun, saya jadi berpikir, mengapa tidak diterapkan metode menabung sejak dini di bank syariah. Bank syariah tak perlu menjejali mereka dengan nama-nama produk yang mungkin asing bagi mereka. Tapi, cukup mengenalkan mereka cara bermitra dengan adil. Saat mereka membuka rekening jadikan mereka sebagai mitra cilik yang mengetahui perihal uang mereka. Sehingga mereka memahami makna syariah itu sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi manusia karena tidak merugikan dan transparan dalam pengelolaannya.

Inilah Gagasan Saya Serta Keuntungannya

Tapi, bagaimana cara menarik minat mereka untuk menabung di bank syariah ?
Jemputlah mereka. Sebuah bank syariah dapat menjalin kerja sama dengan pihak sekolah dasar untuk menjaring nasabah. Sebagian besar sekolah dasar tentu telah mengenalkan budaya menabung kepada siswanya. Dan bank syariah dapat menjadi fasilitator penyimpanan dana mereka.

Saya cukup sedih saat melihat buku tabungan yang diberikan adik saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, di situ jelas tertulis nama sebuah bank konvensional. Padahal yayasan tempat adik saya bersekolah merupakan yayasan Islam. Yang tentunya telah memahami perihal bank konvensional tersebut. Saya cukup memaklumi, mungkin dikarenakan belum tersedianya produk bank syariah junior atau semacamnya. Sehingga yayasan tersebut memilih yang telah ada.

Mungkin kedengarannya berat, masih kecil tetapi telah dikenalkan tentang perbankan syariah. Kenyataannya, mengenalkan kepada mereka sejak dini itu penting. Minimal mengarahkan mereka untuk menabung di bank syariah dengan sistem perbankan yang adil dan transparan. Sebenarnya tak jauh beda dengan dahulu, saat saya dikenalkan untuk menabung di bank konvensional. Saya sama sekali tak memahami apa itu bunga, tapi menabung di bank konvensional tersebut seakan mengenalkan saya bahwa bunga bukanlah sesuatu yang buruk. Karena tentunya di setiap iklan bank konvensional pastilah ditulis berapa bunga yang ditetapkan. Dan mau tidak mau, meskipun saya tak memahami maknanya, saya dapat membacanya. Dan di mata saya bunga menjadi suatu hal yang biasa-bukan suatu hal yang dimasalahkan-kala itu. Begitupun dengan menerapkan metode menabung di bank syariah sejak dini. Anak-anak bukan dijejali dengan nama-nama produk syariah yang mungkin asing di telinga mereka. Melainkan, mereka cukup diajarkan menabung di bank syariah tersebut. Secara tak langsung mereka akan akrab dengan kata syariah dan lambat laun akan memerhatikan bahwa sama sekali tak ada embel-embel persenan bunga pada brosur maupun iklan perbankan syariah dan bunga akan menjadi suatu hal yang tabu bagi mereka.

Selain itu, mengenalkan perbankan syariah secara lebih detail kepada para remaja juga suatu cara yang baik. Sehingga korban-korban ‘ketidakadilan’ riba lambat laun akan berkurang nantinya. Karena kelak mereka akan dewasa. Dan saat dewasa nanti mereka benar-benar memahami keunggulan perbankan syariah itu sendiri. Kedengarannya seperti suatu hal yang sepele. Namun, kita semua tahu, masa remaja adalah masa dimana pencarian jati diri; salah satu tahap dimana manusia berpikiran kritis. Mengenalkan perbankan syariah membuat mereka memahami suatu tatanan sistem ekonomi yang adil dan transparan. Para remaja pun dapat menganalisis sendiri antara bank syariah dan bank konvensional. Kebaikan dan keburukan dari masing-masing sistem. Dengan mereka terjun sendiri, menjadi salah satu nasabah, akan memudahkan mereka memahami keunggulan dari bank syariah itu sendiri. Serta, dapat melindungi para generasi dari ancaman ketidakadilan bunga. Sehingga tak akan terulang kasus serupa yang saya ceritakan di awal.

Lalu, bagaimanakah caranya?
Cara yang diambil pun masih sama, jemputlah mereka. Dengan menjalin kerja sama dengan pihak sekolah maka akan mempermudah proses pengenalan perbankan syariah kepada mereka. Misalnya, kerja sama dengan sebuah pesantren pada jenjang aliyah melalui pembukaan rekening bagi pelajar yang terdaftar sebagai santri dalam sekolah tersebut. Selain sebagai pengenalan perbankan syariah; termasuk produk-produk bank syariah itu sendiri, cara ini juga sebagai proses pembelajaran para santri, yang telah mendapat pelajaran mengenai muamalah secara syariah, untuk diterapkan pada kehidupan nyata. Sehingga kelak akan muncul pula para bankir profesional yang telah memahami serta berada dalam lingkungan syariah sejak awal. Dan yang terpenting perbankan syariah dapat dirasakan manfaatnya oleh semua pihak.



 

4cuap-cuap:

Tulis Pendapatmu di sini, Kawan!