5.12.2010

Dia Merindu

Saya sedang terlena ber-ha-ha-hi-hi di wall facebook ketika saya terpaku pada satu status yang dipostkan salah satu kawan. Statusnya tertulis :
 Give me the power, God .I miss my Dad, I miss my Mom.

Sekilas status itu terlihat biasa dan wajar. Ekspresi seorang anak saat rindu kepada orang tuanya yang terpisah jarak. Pengecualian untuk yang satu ini. Biasanya saya hanya tersenyum bila membaca status yang maknanya serupa seperti status tersebut. Namun, kali ini saya ingin menangis.

Dia adalah teman SMA saya, pemilik status tersebut, meski hanya beberapa bulan kami berteman secara nyata; bertemu, bertatap muka, kenyataannya kenangan bersama dia justru yang tertoreh paling dalam. Terdengar agak melankolis. hhe

Mungkin kalian bertanya, mengapa saya tangisi ?
Saya sama sekali tak menangisi status tersebut ataupun teman saya yang kenyataanya kami sudah jarang bertemu. Tapi kejadian tiga tahun silam yang membuat saya tak dapat menahan bulir air mata ini.

Setiap sore kami terbiasa bermain bersama di kamar. Oh, ya belum saya beritahu ya bahwa saya bersekolah di SMA berasrama. Kami, bersama empat orang teman kami yang lain, menyicipi berbagai macam permainan. Dari mulai bermain wanna be superstar (entah itu pop, rock, dangdut bahkan qosidahan), skiping bergantian (padahal kami di lantai dua ! Kebayang kan lantai yang berdegum. Dan tak dapat disangkal kami pun berbuah protes dari penghuni bawah), bermain tutup mata (yang lagunya begini: 'Polisi, polisi numpang tanya,' prok!prok!prok! *suara tepukan tangan* tahu kan ?) sampai, permainan ditutup dengan adegan saling pukul memakai guling. Yang menang mengolok-olok yang kalah, yang kalah tidak akan mengakui bahwa dirinya kalah, hanya kurang beruntung!
Namun, suasana sore itu berbeda.Memang, kami masih tetap menjalani ritual bermain saat sore, tertawa-tawa bersama. Hingga tiba-tiba Bella, sang pemilik status, terdiam secara mendadak. Menyendiri. Dan sedikit emosional saat disuruh membereskan ranjang miliknya. Hal yang aneh bagi kami. Bela, yang merupakan akar dari semua kecerian yang kami ciptakan. Dia yang tak pernah absen untuk tertawa. Selalu ceria. Dia yang suka memunculkan ide-ide aneh; ranjang tingkat ia jadikan jemuran handuk! dan kami mengikuti jejaknya, ia yang paling rajin menyetrika baju tiap malam, ia yang gak pernah habis menceritakan hal-hal konyol yang pernah dia alami, tiba-tiba speechless tanpa sebab.
Kami heran. Dan selanjutnya kami resah.
Sebelumnya, saat kami sedang tertawa-tawa dan terlampau keras, salah seorang teman kami mengingatkan, 'Awas lho, kan biasanya kalo' tertawanya berlebihan nanti pasti berbalik jadi sedih berlebihan.' Saat itu kami menganggapnya hanya sebagai lelucon. Namun tak ayal, jantung saya berdegup saat dia berkata seperti itu.
Beberapa jam kemudian.
Bela masih terpuruk di kasurnya. Seperti di komando tak ada satu pun dari kami, dari empat orang yang tersisa selain Bela, berani mendekat untuk bertanya. Pikiran kami satu muara, dia mungkin sedang ingin menyendiri.
Hingga akhirnya, Bela pun terbangun dan berkata, 'Sorry ya, ggw tadi cuma kangen sama Abah.' Kami memaklumi. Pria yang ia panggil Abah tak lain adalah ayahnya. Memang, saat itu ayahnya sedang dirawat di rumah sakit. Dan Bela tak pernah berhenti berkata bahwa dia kangen Abah. Berikutnya, Bela pun kembali ceria meski dengan mata sembab.
Beberapa menit kemudian.
Handphone milik Bela berdering.
'Kenapa Ma ?' Begitu Bela menyapa.
Selanjutnya hanya tangisan yang kami dengar diiringi lantunan kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Itu hari pilu yang pernah saya beserta keempat orang teman alami. Karena setelah kejadian itu Bela tak lagi bermain bersama kami, ia pindah dan memilih tinggal bersama ibunya di rumah. Kami pun terpukul. Tak pernah terpikirkan oleh kami bahwa hari itu adalah hari terakhir bagi kami bermain bersama. Tak menyangka, kami tertawa terbahak dan menangis tersedu dalam waktu bersamaan. Sejak saat itu, setiap kami tertawa, kami selalu mengerem untuk tidak berlebihan. Kejadian saat itu menjadi pengalaman paling berharga dalam hidup kami. Walaupun kami akui yang namanya ajal di tangan Sang Kuasa. Hanya kami terus mengingat, bahwa sepatutnya segala sesuatu dijalankan sewajarnya. Tidak berlebih-lebihan. Lagipula, kami seorang wanita yang tak patut tertawa terbahak-bahak bahkan hingga terlihat gigi geraham. Suatu hal yang tak indah.

Saya kembali terbayang wajah Bela yang sendu saat membaca status tersebut dan saya tak ingin. Saya pun menulis pesan di wall miliknya :

Si Arab (panggilan akrab Bela) yang gw kenal itu adalah Bela yang tegar. Chayo Bel ! I miss you so.
Sederhana memang. Tapi harapan saya untuk melihat wajah ceria Bela tertanam besar dalam kalimat itu.

0cuap-cuap:

Tulis Pendapatmu di sini, Kawan!